Poin Kedua: Studi kritis kisah Nabi Musa ‘alaihissalâm dengan tongkatnya.
Jika pada studi kritis kisah Nabi Sulaiman ‘alaihissalâm dan cincinnya, pembahasan di dalamnya lebih banyak dititikberatkan pada sorotan akan keabsahan kisah tersebut; maka studi kritis kisah Nabi Musa ‘alaihissalâm dan tongkatnya, tidak akan menempuh metode serupa. Sebab kisah tersebut sudah tidak diragukan lagi keabsahannya. Berhubung nash kisah penggunaan tongkat Nabi Musa ‘alaihissalâm telah disebutkan di dalam Alquran.
Pembahasan kita kali ini akan cenderung mengkritisi sisi istidlâl (penarikan kesimpulan) mereka dari kisah tersebut, untuk mendukung tindak pemakaian jimat. Hal itu bisa kita rumuskan dalam beberapa jawaban:
i. Analogi mereka yang keliru.
Perlu diketahui bahwa Nabi Musa ‘alaihissalâm memakai tongkatnya tersebut, berdasarkan perintah dan wahyu dari Allah ta’ala. Sebagaimana terlihat jelas dalam firman Allah,
فَأَوْحَيْنَا إِلَى مُوسَى أَنِ اضْرِب بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ فَانفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيمِ
Artinya: “Lalu Kami wahyukan kepada Musa, ‘Pukullah laut itu dengan tongkatmu!’. Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar.” (Q.S. Asy-Syu’arâ: 63).
Juga firman-firman Allah lainnya.
Yang menjadi pertanyaan: Apakah para penjaja jimat itu mengatakan, bahwa Allah ta’ala memerintahkan mereka untuk memakai jimat, sebagaimana Allah memerintahkan Nabi Musa ‘alaihissalâm untuk memakai tongkatnya?
Jika mereka menjawab, “Ya”; berarti mereka telah mendustakan dalil-dalil syar’i yang begitu gamblang melarang pemakaian jimat.
Kebalikannya, jika mereka mengatakan, “Tidak”; maka penganalogian mereka pemakaian jimat dengan pemakaian tongkat Nabi Musa, dikategorikan analogi yang keliru; karena kondisi keduanya berbeda.
Silakan memilih salah satu dari dua jawaban di atas, kedua-duanya tidak lain hanyalah bagaikan memakan buah simalakama.
ii. Dari manakah ‘kesaktian’ jimat bersumber?
Klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah; sehingga tidak masalah untuk memanfaatkan kekuatan tersebut, adalah klaim yang murni berisi kedustaan atas Allah ta’ala. Karena, jimat-jimat tersebut benda mati yang sama sekali tidak memiliki kekuatan. ‘Kesaktian’ yang mereka klaim dimiliki oleh jimat tersebut hanyalah ilusi dan khayalan yang mereka yakini.
Andaikata jimat tersebut memang memiliki kekuatan, maka kekuatan itu bukanlah dari Allah, tetapi dari para setan yang disembah oleh pembuat jimat tersebut, sebagai bentuk timbal balik atas peribadatan mereka terhadap setan-setan itu.
Pernyataan bahwa kekuatan dan tenaga yang ada dalam jimat tersebut bersumber dari Allah ta’ala, adalah pernyataan yang keliru, kecuali jika dipandang dari sisi takdir Allah, bukan dari sisi syar’i. Sebab Allah ta’ala melalui lisan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah melarang pemakaian jimat. Sehingga dipandang dari sisi syariat, dia dibenci, namun secara takdir, terkadang bisa saja terjadi.
Bukankah Allah telah melarang para hamba-Nya untuk melakukan tindak sihir dalam banyak ayat [antara lain dalam QS. Al-Baqarah: 102 dan QS. An-Nisa: 51-52]? Namun, meskipun demikian, Allah menghendaki kejahatan sihir tersebut menimpa hamba-Nya yang paling mulia; yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantaran hikmah yang dikehendakinya!?
Jika Allah berkehendak untuk menakdirkan terjadinya sesuatu, pasti hal itu akan terjadi. Namun kehendak Allah tersebut, tidak serta merta menunjukkan bahwa Allah mencintai dan meridhai sesuatu yang terjadi itu. Inilah keyakinan yang dianut Ahlus Sunnah dalam memahami takdir [Lihat: Madârij as-Sâlikîn karya Ibnul Qayyim (II/192)].
Keyakinan ini dibangun di atas banyak dalil syar’i. Antara lain, firman Allah ta’ala,
مَن يَشَإِ اللّهُ يُضْلِلْهُ وَمَن يَشَأْ يَجْعَلْهُ عَلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya: “Barangsiapa yang dikehendaki Allah (dalam kesesatan); niscaya akan disesatkan-Nya. Dan barangsiapa dikehendaki Allah (untuk diberi petunjuk); niscaya Dia menjadikannya berada di atas jalan yang lurus.” (Q.S. Al-An’âm: 39).
Dan firman-Nya,
وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الفَسَادَ
Artinya: “Dan Allah tidak mencintai kerusakan.” (Q.S. Al-Baqarah: 205).
Ayat pertama menunjukkan, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, dan apa yang tidak Dia kehendaki pasti tidak akan terjadi. Adapun ayat kedua menunjukkan adanya berbagai hal yang dibenci Allah, tidak Dia cintai dan ridhai. Hal ini membuktikan adanya perbedaan antara kehendak dengan kecintaan dan keridhaan [lihat: Al-Qadhâ’ wa al-Qadar fî Dhau’ al-Kitâb wa as-Sunnah wa Madzâhib an-Nâs Fîhi, karya Dr. Abdurrahman bin Shalih al-Mahmûd (hal. 295-296)].
Hubungan prinsip ini dengan klaim mereka bahwa kekuatan yang ada dalam jimat bersumber dari Allah ta’ala, adalah: andaikan jimat tersebut memang mempunyai kekuatan yang bersumber dari Allah: semua ini tidak menunjukkan bahwa Allah meridhai dan mencintai pemakaian jimat. Karena terkadang Allah menakdirkan terjadinya sesuatu yang sebenarnya tidak ia cintai. Dan hal ini salah satu contoh nyatanya.
iii. Argumentasi mereka termasuk tindak melawan dalil dengan rasio.
Dalih para penjaja jimat tersebut, bisa dikategorikan dalam tindak melawan dalil syar’i dengan argumen akal belaka. Sebab dalil-dalil dari Alquran maupun Sunnah telah begitu gamblang menjelaskan haramnya pemakaian jimat, bahkan sebagiannya memvonis syirik perbuatan tersebut. Alangkah naifnya jika dalil-dalil sahih tersebut dilawan dengan argumen akal-akalan!
Sebegitu banyaknya hadits yang melarang pemakaian jimat dan beraneka ragam metode Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam penyampaiannya, sampai-sampai hadits-hadits tersebut bisa diklasifikasikan menjadi beberapa macam [Dalam menyusun pengklasifikasian ini, kami banyak terbantu dengan buku Mazhâhir al-Inhirâf ‘an Tauhîd al-‘Ibâdah Ladâ Ba’dh Muslimî Uganda, karya Husain Muhammad Buwa (hal. 46-49). Untuk lebih luasnya, silahkan merujuk tesis kami: Mazhâhir al-Inhirâf ‘an Tauhîd al-‘Ibâdah Ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm minhâ (II/905-910)]:
Jenis pertama: Hadits-hadits yang menyebutkan vonis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap perbuatan tersebut sebagai tindak kesyirikan.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa menggantungkan jimat; berarti berbuat syirik.” [H.R. Ahmad (XXVIII/637 no. 17422) dan al-Hâkim (IV/219) dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir. Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ’id (V/103) berkomentar, “Para perawi Ahmad terpercaya.” Syaikh al-Albânî dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (I/889-890 no. 492) mensahihkan hadits ini].
Jenis kedua: Hadits-hadits yang menyebutkan pemberitahuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ihwal terputusnya pertolongan Allah dan perhatian-Nya dari pemakai jimat.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menggantungkan sesuatu; dijadikan ketergantungannya ada padanya.” [H.R. At-Tirmidzi (hal. 468 no. 2072) dan al-Hâkim (IV/216) dari hadits Abdullah bin ‘Ukaim. As-Suyûthi dalam al-Jâmi’ ash-Shaghîr (II/590 no. 8599) mengisyaratkan bahwa hadits ini hasan. Syaikh al-Albânî dalam Ghâyah al-Marâm (hal. 181 no. 297) menyimpulkan bahwa hadits ini hasan].
As-Suyûthî menjabarkan hadits di atas, “Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘dijadikan ketergantungannya ada padanya’ merupakan kiasan akan tidak adanya pertolongan dari Allah bagi orang tersebut.” [Syarh as-Suyûthî li Sunan an-Nasâ’î (VII/128 –Sunan an-Nasâ’î)].
Jenis ketiga: Hadits-hadits yang menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keburukan bagi orang yang memakai jimat.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلَا أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ، وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلَا وَدَعَ اللَّهُ لَهُ
“Barangsiapa menggantungkan jimat, semoga Allah tidak menjadikan ia mencapai apa yang diinginkan. Dan barangsiapa menggantungkan wada’ah (salah satu jenis jimat), semoga Allah tidak menjadikan dirinya tenang.” [H.R. Ahmad (XXVIII/623 no. 17404), al-Hâkim (IV/216) dan Ibn Hibbân (XIII/451 no. 6086) dari hadits ‘Uqbah bin ‘Âmir. Al-Hâkim mensahihkan sanad hadits ini dan adz-Dzahabi menyepakatinya. Al-Haitsami dalam Majma’ az-Zawâ’id (IX/304-305) berkomentar, “Hadits ini diriwayatkan Ahmad dengan redaksi yang panjang juga redaksi yang ringkas, dan diriwayatkan pula oleh Abu Ya’lâ. Para perawi hadits yang redaksinya panjang termasuk katagori perawi kitab ash-Shahîh”].
Jenis keempat: Hadits-hadits yang menyebutkan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk memotong jimat yang digantung di leher hewan ternak.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada para utusannya,
أَنْ لَا يَبْقَيَنَّ فِي رَقَبَةِ بَعِيرٍ قِلَادَةٌ مِنْ وَتَرٍ أَوْ قِلَادَةٌ إِلَّا قُطِعَتْ
“Janganlah kalung yang terbuat dari tali (jimat) dibiarkan tergantung di leher unta, melainkan dipotong.” [H.R. Bukhari (VI/141 no. 3005) dan Muslim (III/1672-1673 no. 2115) dari hadits Abu Basyîr al-Anshârî].
Jenis kelima: Hadits-hadits yang menyebutkan penegasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi siapa saja yang mati dalam keadaan memakai jimat; maka ia tidak akan beruntung selamanya.
Di antara jenis hadits tersebut, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tatkala melihat salah satu sahabatnya memakai jimat,
فَإِنَّكَ لَوْ مِتَّ وَهِيَ عَلَيْكَ مَا أَفْلَحْتَ أَبَدًا
“Jika engkau mati dalam keadaan jimat ini masih engkau pakai; niscaya engkau tidak beruntung selamanya.” [H.R. Ahmad (XXXIII/204 no. 20000), Ibn Hibbân (XIII/449 no. 6085) dan al-Hâkim (IV/216) dari hadits ‘Imrân bin Hushain. Al-Hâkim mensahihkan isnad-nya dan adz-Dzahabi menyetujuinya. Al-Bûshiri dalam Mishbâh az-Zujâjah (III/481 –Sunan Ibn Mâjah) menghasankan isnad-nya].
Jenis keenam: Hadits-hadits yang menyebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang-orang yang memakai jimat.
Di antara hadits jenis ini, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“يَا رُوَيْفِعُ لَعَلَّ الْحَيَاةَ سَتَطُولُ بِكَ بَعْدِي؛ فَأَخْبِرِ النَّاسَ أَنَّهُ مَنْ عَقَدَ لِحْيَتَهُ، أَوْ تَقَلَّدَ وَتَرًا، أَوْ اسْتَنْجَى بِرَجِيعِ دَابَّةٍ أَوْ عَظْمٍ؛ فَإِنَّ مُحَمَّدًا صلّى الله عليه وسلّم مِنْهُ بَرِيءٌ”.
“Wahai Ruwaifi’, nampaknya sepeninggalku, engkau akan panjang umur. Beritahukanlah kepada orang-orang, barangsiapa yang mengepang jenggotnya, atau mengalungkan tali (sebagai jimat), atau beristinja dengan kotoran hewan atau tulang; maka Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya.” [H.R. Abu Dawud (I/31-32 no. 36) dari hadits Ruwaifi’ bin Tsâbit. Syaikh al-Albâni dalam Shahîh al-Jâmi’ (II/1310 no. 7910) mensahihkan hadits ini].
Lihatlah dalil-dalil syar’i yang amat beragam metode penyampaiannya, begitu jelas menunjukkan haramnya pemakaian jimat. Apakah seluruh dalil di atas dan dalil-dalil lain yang senada akan di-‘adu’ dengan argumentasi akal belaka?! Tidakkah mereka merasa khawatir tertimpa ancaman Allah ta’ala,
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Artinya: “Hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Q.S. An-Nûr: 63).
Kita tutup tulisan ini dengan merenungi ulasan yang disampaikan asy-Syâthibî (w. 790 H), tatkala beliau menggambarkan bagaimanakah generasi terbaik umat ini menyikapi dalil-dalil syar’i?
Beliau bertutur, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan generasi sesudah mereka, tidak pernah melawan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pendapat-pendapat mereka. Baik mereka mengetahui maknanya ataupun tidak, entah sejalan dengan apa yang mereka ketahui ataupun tidak. Itulah konsekuensi penyampaian hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaklah oknum yang gemar mengedepankan sesuatu yang penuh kekurangan –yaitu akal– atas sesuatu yang sempurna –yaitu syariat–; mengambil pelajaran dari hal itu.” [Al-I’tishâm (III/427-428)].
Wallahu ta’ala a’la wa a’lam. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajma’in.
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ahad 25 Rabi’ul Awwal 1430
Penulis: Ustadz Abdullah Zaen, Lc., M.A. hafizhahullahu ta’ala
Artikel www.Tunasilmu.com
Daftar Pustaka:
- Al-Qur’an dan Terjemahannya.
- Ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr bi al-Ma’tsûr, karya Jalaluddin as-Suyuthi, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1424/2003.
- Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân, karya Muhammad al-Amîn asy-Syinqîthî, isyrâf Bakr Abu Zaid, Mekah: Dar ‘Alam al-Fawaid, cet I, 1426.
- Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, karya Ismâ’îl Ibn Katsîr, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1419/1998.
- Al-Isrâ’îliyyât wa al-Maudhû’at fî Kutub at-Tafsîr, karya Dr. Muhammad Abu Syahbah, Kairo: Maktabah as-Sunnah, cet IV, 1408.
- Al-I’tishâm, karya Ibrahim bin Musa asy-Syâthibî, tahqîq Masyhur bin Hasan, Amman: ad-Dar al-Atsariyyah, cet II, 1428/2007.
- Al-Jâmi’ ash-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr an-Nadzîr, karya Jalaluddin as-Suyûthî, Beirut: Dar al-Fikr, cet I, 1401/1981.
- Al-Kasysyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh at-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwîl fi Wujûh at-Ta’wîl, karya Mahmud bin Umar az-Zamakhsyarî, tashîh Muhammad Abdussalâm Syâhîn, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet I, 1415/1995.
- Al-Qadhâ’ wa al-Qadar fî Dhau’i al-Kitâb wa as-Sunnah wa Madzahib an-Nâs fîhi, karya Dr. Abdurrahmân bin Shâlih al-Mahmûd, Riyadh: Dar al-Wathan, cet II, 1418/1997.
- Asbâb al-Khatha’ fî at-Tafsîr – Dirâsah Ta’shîliyyah, karya Dr. Thâhir Mahmûd Ya’qûb, Dammam: Dar Ibn al-Jauzi, cet I, 1425.
- Asy-Syifâ bi Ta’rîf Huqûq al-Mushthafâ, karya al-Qâdhî ‘Iyâdh bin Mûsâ al-Yahshubî, tahqîq Ali Muhammad al-Bajâwî, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, tc, 1404/1984.
- Ghâyah al-Marâm fî Takhrîj Ahâdîts al-Halâl wa al-Harâm, karya Syaikh Muhammad Nâshiruddin al-Albânî, Beirut: al-Maktab al-Islami, cet I, 1400/1980.
- Jâmi’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qur’ân, karya Muhammad bin Abdurrahmân al-Îjî, murâja’ah Shalâhuddîn Maqbûl Ahmad, al-Khalidiyyah Kuwait: Ghiras, cet I, 1428/2007.
- Madarij as-Sâlikîn baina Manâzil Iyyâka Na’budu wa Iyyâka Nasta’în, karya Ibn al-Qayyim, tahqîq Muhammad Hâmid al-Faqî, Beirût: Dâr al-Kitâb al-‘Arabî, 1393/1973.
- Majalah Misteri, edisi 387, tanggal 20 Desember 2005 – 4 Januari 2006.
- Manâhil ash-Shafâ fî Takhrîj Ahâdits asy-Syifâ, karya Jalâluddîn as-Suyûthî, tahqîq Samîr al-Qâdhî, Beirut: Dar al-Jinan, cet I, 1408/1988.
- Mausû’ah al-Hâfizh Ibn Hajar al-‘Asqalânî al-Hadîtsiyyah, dihimpun oleh Walîd bin Ahmad az-Zubairî dkk, Leeds Inggris: Majalah al-Hikmah, cet I, 1422/2002.
- Mausû’ah al-Isrâ’îliyyât wa al-Maudhû’ât fi Kutub at-Tafsîr, karya Muhammad Ahmad Isa, Kairo: Dar al-Ghad al-Jadid, cet I, 1428/2007.
- Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-‘Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Indonesia wa Mauqif al-Islâm minhâ, karya Abdullah Zaen, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1428/2008.
- Mazhâhir al-Inhirâf fî Tauhîd al-‘Ibâdah ladâ Ba’dh Muslimî Uganda wa Subul Mu’âlajatihâ ‘alâ Dhau’i al-Islâm, karya Husain Muhammad Buwa, tesis di Jurusan Akidah Universitas Islam Madinah, 1412/1992.
- Rûh al-Ma’ânî fî Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm wa as-Sab’i al-Matsânî, karya Abu ats-Tsanâ Syihâbuddîn al-Alûsî, tashîh Ali Abdul Bârî ‘Athiyyah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet I, 1415/1994.
- Shahîh al-Bukhârî, karya Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî, bersama Fath al-Bârî Syarh Shahîh al-Bukhârî, karya Ibnu Hajar al-‘Asqalânî, cetakan al-Maktabah as-Salafîyyah.
- Shahîh al-Jâmi’ ash-Shaghîr wa Ziyâdatuh (al-Fath al-Kabîr), karya Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni, Beirut: al-Maktab al-Islami, cet III, 1408/1988.
- Shahîh Ibn Hibbân dengan tartîb Ibn Balbân yang berjudul Al-Ihsân fî Taqrîb Shahîh Ibn Hibbân, tahqîq Syu’aib al-Arna’ûth, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, cet I, 1408/1988.
- Shahîh Muslim, karya Imâm Muslim bin al-Hajjâj, tahqîq Muhammad Fu’âd Abdul Bâqi, Beirût: Dâr Ihya’ at-Turâts al-‘Arabî.
- Sunan an-Nasâ’î, karya an-Nasâ’i, bersama Syarh al-Hafîzh Jalâluddin as-Suyûthi dan Hâsyiyah al-Imam as-Sindî, Beirut: Dar al-Ma’rifah, cet I, 1411/1991.
- Sunan at-Tirmidzî, karya Abû Îsâ at-Tirmidzî, ‘inâyah Masyhûr Salmân, Riyâdh: Maktabah al-Ma’ârif, cet I.
- Sunan Ibn Mâjah, karya Muhammad bin Yazid al-Qazwînî, bersama Mishbâh az-Zujâjah fi Zawâ’id Ibn Mâjah, karya Syihâbuddin al-Bûshîrî, Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, cet I, 1419/1998.
- Tafsîr al-Baghawî yang berjudul Ma’âlim at-Tanzîl, karya al-Husain bin Mas’ûd al-Baghawî, tahqîq Muhammad Abdullah an-Namir dkk, Riyâdh: Dâr ath-Thaibah, 1411.
- Tafsîr al-Bahr al-Muhîth, karya Muhammad bin Yûsuf Abu Hayyân, tahqîq Abdurrazzâq al-Mahdî, Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, cet I, 1423/2002.
- Tafsîr al-Qâshimî yang berjudul Mahâsin at-Ta’wîl, karya Muhammad Jamâluddîn al-Qâshimî, tashîh Muhammad Fu’âd Abdul Bâqî, penerbit Isa al-Bâby al-Halabi, tc, tt.
- Tafsîr al-Qurthubî dengan judul al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’an wa al-Mubayyin limâ Tadhammanah min as-Sunnah wa Ây al-Furqân, karya Muhammad bin Ahmad al-Qurthubî, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî dkk, Beirût: Mu’assasah ar-Risâlah, cet I, 1427/2006.
- Tafsîr an-Nasafî yang berjudul Madârik at-Tanzîl wa Haqâ’iq at-Ta’wil, karya Abdullah bin Ahmad an-Nasafî, tahqîq Yusuf Ali Budaiwî, Beirut: Dar al-Kalim ath-Thayyib, cet I, 1419/1998.
- Tafsîr ar-Râzî yang berjudul at-Tafsîr al-Kabîr atau Mafâtîh al-Ghaib, karya Fakhruddîn ar-Râzî, Beirut: Dar al-Fikr, cet I, 1401/1981.
- Tafsîr ath-Thabarî yang berjudul Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’an, karya Imâm Ibn Jarîr ath-Thabarî, tahqîq Dr. Abdullah at-Turkî, Jaizah: Dâr Hajar, cet I, 1422/2001.
- Tafsîr Ibn Abî Hâtim yang berjudul Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm Musnadan ‘an Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam wa ash-Shahâbah wa at-Tâbi’în, karya Abdurrahmân bin Muhammad Ibn Abi Hâtim, tahqîq As’ad Muhammad ath-Thayyib, Mekah: Maktabah Nizar al-Baz, cet I, 1417/1997.
- Tafsîr Ibn Katsîr yang berjudul Tafsîr al-Qur’an al-‘Azhîm, karya Ismâ’îl Ibnu Katsîr ad-Dimasyqî, tahqîq Sâmî Salâmah, Riyâdh: Dâr ath-Thaibah, cet I, 1418/1997.
- Zâd al-Masîr fî ‘Ilm at-Tafsîr, karya Abdurrahman bin Ali Ibn al-Jauzî, Beirut: al-Maktab al-Islami, cet II, tt.